Cerita Seorang Dara
Cerita Seorang Dara
(Bagian 1)
Menatap langit hitam dalam-dalam. Menyeka air mata di kedua pelipisnya. Merenung tertunduk memeluk lutut.
"Kenapa aku ini? masih saja berpikir bodoh!" tangisnya lagi.
Ia terluka sangat dalam, alasannya hanya karena seorang pria. Bukan, bukan pria, tapi laki-laki. Hampir sepanjang hidupnya saat bertemu lelaki ini, dia tak pernah merasa damai lebih lama. Seperti malam ini, dia baru saja mengalah, lagi.
Laki-laki yang usianya hanya berbeda dua tahun lebih tua dari dirinya ini tak pernah dirasa dewasa. Padahal dia sudah pernah menikah. Jika kamu ingin tahu, usia pernikahannya hanya empat minggu saja. Bagaimana menurutmu?
"Laila, sarapan dulu!" Mama memanggil.
"Aku sarapan di kantor ya mam, kayanya terlambat nih." gadis ini melompat-lompat kecil dengan satu kaki sambil memakai sepatu dengan hak rendah.
"Kebiasaan." gumam sang mama.
Laila mulai melaju dengan motor hitamnya, perasaannya sudah lebih baik dari semalam hanya saja masih ada yang mengganjal dalam hatinya. Sepanjang perjalanan dia hanya mengingat perilaku buruk laki-laki itu seperti memaki, melempari, memukul sampai membanting. memangnya laki-laki itu siapa? Dia kekasihnya Laila, hanya saja saat ini kondisinya sedang menggantung. menggantung bagaimana? Laila mulai lelah dengan laki-lakinya, tetapi si laki-laki ini sangat mencintai Laila. mencintai katamu? setelah kau bilang memaki, melempari dan bla bla bla.
Biar ku ceritakan, sebut saja namanya Brian. Dia bekerja di kantor yang sama dengan Laila, posisinya pun setara sebagai karyawan pada umumnya. Mereka telah saling mengenal sejak Brian bercerai dengan istrinya. Sekitar dua tahun lalu. Sampailah pada saat Brian sedang 'melajang kembali' dipertemukan dengan Laila. Hubungan Brian dan Laila sangat dekat, sampai akhirnya mereka menjalin kasih dengan tujuan menikah tentunya. Dalam perjalanan jalinan kasih antar keduanya ini muncul berbagai macam persoalan. Brian ternyata orang yang tak pandai mengontrol emosi, mudah marah dan mudah tersinggung, sampai Laila sudah mulai merasa biasa dengan hal-hal itu. Biasa merasa sakit hati. Namun yang ku sebutkan tadi soal memaki, melempari, memukul dan membanting itu bukan perilaku Brian terhadap Laila melainkan terhadap orang lain. Laila tak menyukainya. Dan Brian tak menyukai Laila saat Laila tak menyukainya bertingkah seperti itu. ribet kali...
"Pagi Mbak Lai.." sapa Pak Rudi, satpam kantor.
"Pagi pak..." balas Laila.
"Laila!" seorang lelaki tak asing memanggilnya lalu mendekat. "Maaf, aku minta maaf. Nanti makan siang sama-sama ya.." bujuk lelaki itu.
"Maaf sibuk." balasnya singkat lalu pergi.
"Laila, jangan seperti ini. Aku mohon maafkan aku." lelaki ini menyerah.
Empat jam berlalu, teriknya mentari ketika itu membuat kubus-kubus es dalam teh mencair lebih cepat.
"Jadi berapa bang, sama ini satu?" mengangkat minuman dalam kemasan kaleng.
"Semuanya, jadi tiga puluh ribu mas."
"Lai.. makasih ya sudah mau maafin aku, aku nggak mau ngecewain kamu kok. Makasih juga sudah mau ku paksa makan siang sama-sama." lelaki ini tersenyum.
"Brian, dengar ya. Aku bingung sebetulnya sama kamu, kamu ini kenapa sih? Susah sekali buat bersikap lebih tenang hah? Kamu mau jadi aktor kriminal selamanya? Mau ganti-ganti istri sampai cari yang benar-benar kuat dengan tingkahmu yang begini? ampuuun..." kata Laila geram.
"Harusnya kamu mengerti, aku memang begini. Kamu udah bilang sebelumnya mau terima aku apa adanya kan..." bela lelaki ini.
"Baik, itu salahku. Seharusnya aku nggak pernah bilang akan terima siapapun apa adanya apalagi urusan masa depan, jika akhirnya nanti kita menikah. Ini benar-benar kesalahanku. Dan kau pun salah, karena membenarkan sikap burukmu." sesal Laila.
"Kenapa kamu jadi begini?!" tanya Brian dengan agak emosi.
"Kenapa kamu? kamu tanya aku kenapa kamu??? kamu yang harusnya jawab saat aku bertanya begitu! Sampai kapan kamu mau bersikap buruk? Sampai kapan kamu memaki orang yang tidak kamu suka, memukuli orang yang sedikit bermasalah denganmu, membanting barang-barang saat kamu marah, mengemudi kendaraan semacam pembalap gadungan dengan muka merah geram, apa yang ada di dalam pikiranmu itu? Apa kamu berpikir masalah akan selesai saat kamu bunuh orang yang tidak kamu suka atau kamu mati bunuh diri?!" pungkas Laila.
"Kamu perempuan menyebalkan! sok benar! Tidak tahu waktu! Pergi saja sendiri." balas Brian sambil berlalu.
"Tentu saja." ucap Laila.
Kegeraman wanita ini tak henti sampai disana. Sebelum laki-laki itu benar-benar menghilang dari hadapannya, dia telah melempar dengan keras kaleng minumannya ke tong sampah kosong, hingga terdengar bunyi dentuman. Dan tentu saja, semua perhatian orang-orang disekitar tertuju padanya.
jika kamu penasaran, apa minuman yang dibelinya tadi itu sudah dia minum..hmm kurasa belum.
Apapun yang dilakukan lelaki itu selama ini jelas tidak baik, bahkan tidak sehat untuk dirinya sendiri. Dia mudah sekali marah dan tersinggung, dia akan mudah pula merasakan stres berat semacam depresi atau penyakit lainnya. Belum lagi, sudah banyak orang mengenal sikap buruknya itu. Sebagian lain lebih memilih memaklumi dan berpura-pura tidak tahu, jika tidak? sepertinya akan mudah terjerat masalah dengannya.
"Apa untungnya bagi dirinya jika sudah begini? Fyuuuh..." keluh Laila.
"Aku semakin yakin, dulu dia menikah dalam keadaan tidak siap mental lahir maupun batin. Apalagi saling menerima ego pasangan, lebih jauh lagi soal tanggung jawab. Arrrrghhh sudahlah..." tambahnya lagi.
Laila menyadari apa yang dialaminya selama ini benar-benar membuatnya lelah hati. Padahal dia sama sekali tidak mempermasalahkan latar belakang kekasihnya itu. Satu tahun dua bulan gadis ini menerima sikap-sikap tak biasa dari seorang laki-laki yang ia senangi pada awalnya. Damai sebentar, riuh lagi, bahagia sebentar, bertengkar lagi. Meski tak sampai terkena kekasaran dalam bentuk fisik, namun sikap tak sopan dan kata-kata tajam Brian selalu saja melukai hati dara ini apalagi saat masalah yang terjadi antara mereka berdua, bagai petir menyambar-nyambar di atas air terjun. Tak jarang orang tua Laila melihatnya murung atau bermata sembab dan bengkak karena kekasihnya sendiri. Karena hal inilah, kedua orang tua Laila tak pernah seutuhnya menyukai Brian, Brian tidak tahu soal ini, ya meskipun beberapa waktu saat Brian berkunjung ke rumah Laila selalu bersikap apik dan sopan. Namun kembali, kedua orangnya hanya ingin sang gadis bahagia. Jika gadisnya memilih lelaki itu, mungkin kedua orang tuanya akan mendo'akan yang terbaik. Jika tidak? mungkin saja kedua orang tuanya bersyukur? Hmm...
Namun saat ini, tepatnya saat hatinya mulai tenang dan stabil kembali, Laila sedang bingung apa yang harus dilakukannya. Dibalik semua sikap Brian yang buruk ini, tentu banyak pula sikap-sikapnya yang baik, yang membuat Laila terus menerus memaafkan lelaki itu. Karena sejujurnya gadis ini memang benar menyukai dan tertarik dengan lelaki empat minggu pernikahan ini, bukan...bukan karena alasan itu, tetapi seringkali Brian memperlakukan Laila bak seorang permaisuri yang selalu dijaga dan diperhatikan, terlebih lagi Laila sudah menerima apa adanya Brian sebelumnya dan hal itu pula yang sangat membuat Brian senang dan bahagia bersama Laila. Mereka membayangkan pernikahan yang sempurna bahkan sudah direncanakan akhir tahun ini. terlena dengan keindahan yang belum halal padahal sama sekali tidak ada yang menjamin keadaan pasti mulus sebagaimana yang mereka bayangkan.
Sampai saat ini, sang dara tengah menunggu kemana takdir akan membawanya. Peran seperti apa yang akan dia dapatkan? apa yang harus dia lakukan untuk menyelamatkan masa depannya? Memaafkan lagi, lalu menikah saja?
Sampai saat ini, sang dara tengah menunggu kemana takdir akan membawanya. Peran seperti apa yang akan dia dapatkan? apa yang harus dia lakukan untuk menyelamatkan masa depannya? Memaafkan lagi, lalu menikah saja?
bersambung dulu yaaaa... 😊
copyright @adistyhanny jan,2019
Comments
Post a Comment